Operasi tangkap tangan (OTT) KPK dikritik oleh dua menteri Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menko Polhukam Mahfud Md. Mahfud menilai apa yang disampaikan Luhut soal KPK tak perlu sedikit-sedikit melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pejabat tak salah.
KPK dianggap tidak perlu sedikit-sedikit melakukan OTT. Terhadap pernyataan LBP ini saya tidak sepakat dengan pandangan Luhut apalagi dikaitkan dengan penilaian bahwa OTT membuat citra negara jelek.
Mengenai OTT dan KPK dalam upaya merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
OTT KPK adalah singkatan dari Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. KUHAP kita tidak mengenal OTT, yang ada adalah TERTANGKAP TANGAN.
Kalau kita punya sense of crisis terhadap tindak pidana Korupsi, mestinya tidak alergi dengan OTT. Justru bisa menjadi shock therapy tersendiri bagi orang atau pejabat yg akan melakukan TP Korupsi. Supaya tidak dikit-dikit OTT maka jangan melakukan TP Korupsi. Menjadi pejabat harus bersih, tidak korup.
Ucapan Luhut tersebut bisa dimaknai menjadi narasi ganda, yaitu pencegahan korupsi melalui digitalisasi dan menolak OTT KPK dan hal ini bisa mengaburkan opini publik terhadap OTT.
Sebenarnya, narasi ganda kedua upaya pemberantasan itu bisa saja dilakukan secara bersamaan dengan saling amplikatif. Digitalisasi dan OTT yang dilakukan bersamaan supaya membuat pemberantasan korupsi di Indonesia lebih "greget" dan membuat orang berpikir ribuan kali untuk melakukan tipikor.
OTT bagi publik adalah sebuah diksi yang mendorong tingkat trust pada KPK asalkan caranya tidak bermuatan politik. Jika sudah bermuatan politik maka makna OTT akan menjadi kabur karena pelaksanaannya tergantung pesanan rezim.
Di sisi lainnya, narasi Luhut bisa dimaknai sebagai justifikasi melakukan tindak pidana korupsi. Termasuk ucapan Luhut "kalau mau bersih di surga saja", pernyataan ini seolah-olah membolehkan pejabat untuk korupsi.
Saya kira pernyataan LBP itu pernyataan yang absurd dan menyesatkan seolah sudah sewajarnya jika pejabat itu "nakal" dikit, korupsi dikit-dikit, menyimpang dikit dengan alasan orang hidup pasti tidak sempurna, banyak kekurangan, dan lain-lain.
Padahal, untuk bisa di syurga justru harus dimulai dari ketika hidup di dunia, ketika menjabat harus bersih, termasuk dari tipikor.
Ingat, tidak agama manapun yang membolehkan umatnya melakukan tindakan korupsi ketika ia menjabat. Bahkan Islam mengajarkan untuk mencampuradukkan antara kepentingan pribadi dan negara. Bagaimana Sahabat Umar bin Khattab R.A. harus mematikan lampu rumah dinasnya ketika tidak sedang menjalankan kepentingan kenegaraan.
Kesan bahwa KPK saat ini dilumpuhkan secara halus pelan-pelan dikerdilkan dengan hanya menangani kasus-kasus kecil dan dilokalisir pada aktor di level daerah tingkat 2 saja, dan itupun intensitasnya sangat jarang memang sangat tampak sejak UU KPK direvisi 2019.
Terkait dengan OTT, terdapat banyak pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara yang tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi yang panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret.
Artikel Terkait
Belajar yang Menyenangkan Dengan Media Gertak
Store Thrift di Jember Bantu Anak Muda Semakin Ber-Fashion
Urgensi Internalisasi Nilai Pancasila Pada Siswa Sekolah Tingkat Dasar
Wacana Tahan Anggaran Hibah KONI dan Dukungan Walikota Pada Salahsatu Calon Ketua KONI Kota Malang
Sekda Baru, Harapan Baru