Resesi merupakan penurunan produktivitas ekonomi dalam 6 bulan atau setahun secara beruntun. PDB (produk domestik bruto) merupakan acuan dasar tolak ukur perekonomian bisa dikatakan naik atau turun. Sehingga, resesi global bisa diartikan sebagai penurunan produktivitas perekonomian di seluruh dunia dalam 2 kuartal secara berturut-turut. Tentunya masih kita ingat apa yang terjadi akibat pandemi Covid-19. Pembatasan perekonomian berdampak pada produktivitas perusahaan menjadi terhambat atau bahkan mati. Tidak hanya perusahaan besar, sektor UMKM juga sangat terdampak. Hal ini membuat banyak karyawan yang di PHK, pendapatan negara dari pajak menurun, dan kemampuan masyarakat untuk bertransaksi semakin turun. Resesi global sebenarnya sudah sering kali terjadi. Menurut data dari worldbank.com sudah terjadi selama 5 kali. Yaitu pada tahun 1975, 1982, 1991, 2009, dan 2020. Faktor utama pemicu utama didominasi oleh kondisi geo-politik, kebijakan moneter seperti kenaikan suku bunga acuan, sistem menegerial perusahaan yang buruk, penurunan nilai aset perusahaan, dan kondisi kesehatan masyarakat dunia. Sejak pertama kali dunia mengalami resesi pasca perang dunia II, sektor pemicunya variatif. Pada tahun 1975 pemicu terjadinya resesi adalah embargo minyak dari negara Arab sehingga membuat harga minyak naik. Kenaikan harga minyak ini berdampak besar bagi negara G-7 dikarenakan suplai PDB dari sektor industri manufaktur sangat besar. Hal ini juga terjadi pada tahun 1982, akan tetapi pemicunya adalah revolusi Iran dan krisis di Amerika Latin. Pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat dan negara-negara maju akibat inflasi tinggi. Sedangkan pada tahun 1991, krisis di negara skandinavia dan terjadinya perang teluk I. Membuat kenaikan harga minyak yang tajam. Serta lemahnya lembaga pemberi pinjaman modal di Amerika Serikat dan negaramu semakin mempersulit perusahaan-perusahaan untuk bertahan. Dan yang agak berbeda adalah resesi global 2009. Pemicunya adalah krisis Amerika Serikat pada tahun 2008 yang berdampak domino pada perekonomian global. Hal ini terjadi akibat bangkrutnya lembaga keuangan global Lehman Brother dan buruknya manajerial di sektor perumahan dan konstruksi . Pada tahun 2020, bencana ekonomi terjadi di hampir seluruh dunia. Aktivitas perekonomian menjadi lumpuh sehingga terjadi penurunan perekonomian besar-besaran. Dapat disimpulkan, kondisi sektor jasa adalah aktor utama penyebab resesi. Dan harga minyak mentah sebagai objek vitalnya. Dimana harga minyak mentah naik, maka nilai produktivitas sektor jasa menurun. Berdasarkan data IMF.com Kondisi perekonomian global dipengaruhi oleh kondisi ekonomi negara-negara maju anggota G-20 hingga 89%. China dalam 10 (sepuluh) tahun terakhir merangsek naik menjadi kekuatan ekonomi baru dunia. Bersaing dengan Amerika Serikat dan memiliki kontribusi yang besar bagi dunia. Struktur perekonomian dunia jika diambil 3 (tiga) sektor utama, terdiri dari sektor pertanian, sektor industri manufaktur, dan sektor jasa. Maka, minimnya pengaruh sektor pertanian dalam distribusi besaran PDB dunia membuat pengaruh harga minyak dunia menjadi vital. Kondusifitas harga minyak dunia juga tergantung pada suhu geo-politik Negara maju khususnya Amerika Serikat. Kebijakan OPEC+ untuk memangkas produksi minyak mentah, dan peredaran minyak Rusia semakin memperkuat kemungkinan Resesi di tahun 2023. Ketergantungan gas Rusia oleh negara Uni-eropa semakin menambah kemungkinan reindustrialisasi negara maju dari Uni-Eropa. Jika kita amati suplai mayoritas PDB hampir semua negara maju didominasi oleh sektor Jasa kemudian diikuti sektor manufaktur. Negara seperti China , India dan Indonesia tergolong stabil dikarenakan distribusi dari sektor pertanian masih cukup tinggi. Tercatat, ekonomi China tumbuh 3,9%, India 13,5%, dan Indonesia 5,44%. Memang, di tengah panasnya suhu politik dunia, China dan India mengambil kebijakan untuk membeli minyak Rusia yang cenderung lebih murah dibanding minyak dari Amerika atau utara Eropa. Sedangkan perekonomian Negara maju cenderung melambat. Hal ini dikarenakan kenaikan harga minyak dunia tidak berpengaruh begitu signifikan terhadap sektor pertanian. Berbeda dengan sektor jasa dan manufaktur, yang sangat tergantung oleh harga minyak dunia. Dan keputusan untuk meng-embargo Rusia menjadikan boomerang bagi Negara anggota NATO. Harga minyak dunia yang melambung sejak setahun terakhir, sejalan juga dengan meningkatnya inflasi di Negara yang didominasi oleh sektor jasa dan manufaktur. Dan secara domino berdampak pada penurunan produktivitas perekonomian dunia yang akan mengakibatkan resesi global. Pengaruh Resesi Global Terhadap Ekonomi Regional Menurut data BPS.lumajang.go.id, PDRB (Produk Regional Domestik Bruto) Kabupaten Lumajang masih didominasi oleh sektor pertanian. Oleh karena itu, dampak dari resesi global diperkirakan tidak begitu berpengaruh secara signifikan. Sebab, selain sumbangan PDRB dari sektor yang dipengaruhi oleh komoditas ekspor masih kecil, distribusi dari sektor industri juga tidak terlalu dominan. Yang menjadi tantangan tersendiri adalah Pemilu serentak 2024. Sebagai pendatang baru negara maju tentu indonesia tidak akan luput dari pengaruh politik . Stabilitas politik punya peran besar dalam perekonomian. Kebijakan moneter hingga diplomasi blok tertentu juga bisa menentukan naik turunnya perekonomian. Kedepan, Negara ataupun regional yang memiliki kekuatan di sektor pertanian, diprediksi akan menjadi daerah yang memiliki pengaruh besar. Mengurangi ketergantungan minyak dunia menjadi PR besar bagi negara kita. Serta menjaga stabilitas politik negara adalah hal yang juga penting. Agar intervensi politik untuk menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak terjadi. (*/fit) *Penulis: Khofifah Aisyah Hartanti