Madiun, Jatim Hari Ini - Ketua DPRD Kabupaten Madiun Fery Sudarsono membantah adanya kenaikan tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten Madiun tahun anggaran 2021 sebesar Rp 2,2 miliar. Namun, dugaan kenaikan tunjangan itu terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK. Politikus PDIP itu membantah adanya temuan BPK terkait kenaikan tunjangan yang dinilai tidak wajar itu. Menurut dia, besaran tunjangan sudah dihitung berdasarkan apraisal dan menyesuaikan inflasi. "Tidak ada selisih temuan, itu gak ada temuan BPK. Temuan BPK itu hanya suruh mengkaji ulang, gak disuruh mengembalikan. Kalau disuruh kembalikan ya kembalikan, kita tidak masalah, bukan temuan," kata Fery saat ditemui di kantornya, Kamis (17/11/2022). LHP BPK Perwakilan Jawa Timur kemudian hanya merekomendasikan untuk mengevaluasi Peraturan Bupati (Perbup) No 30 Tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD sekaligus menerbitkan perbub yang baru. Dia mengklaim, LHP itu juga mengusulkan anggaran pembangunan rumah negara dan perlengkapan pimpinan DPRD. Menanggapi hal ini, pakar hukum DR Wahju Prijo Djatmiko menjelaskan, pada dasarnya kenaikan tunjangan perumahan anggota DPRD Kabupaten Madiun secara yuridis normatif bukan perbuatan melawan hukum. Menurutnya, sudah ada payung hukum yakni Peraturan Bupati No 30 tahun 2021 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. Namun dari perspektif keilmuan hukum pidana , semakin sindikat korupsi itu dilaksanakan oleh cakupan luas dari elit pemegang kekuasan strategis, maka semakin sistematislah perampasan keuangan negara yang akan terjadi. “Sebagai ilustrasi, bayangkan apabila kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif telah terjebak dalam jalinan sindikat korupsi yang samar dan canggih,” ujarnya. Pada dasarnya persoalan korupsi bisa dimulai dari fase sedini mungkin yakni pada tahap pengkreasian legal back up (perangkat perundang-undangan yang mendukung) dari suatu kebijakan keuangan/pembangunan. “Pengkreasian instrument hukum untuk memuluskan atau memayungi korupsi dengan hukum adalah dengan menciptakan produk-produk hukum yang korup,” tegasnya. Sebenarnya produk hukum yang korup inilah yang menjadi variabel dominan penghambat pemberantasan korupsi di Indonesia. Berangkat dari perspektif keilmuan tentang tindak pidana korupsi diatas maka untuk mengujinya adalah menindaklanjuti rekomendasi laporan hasil pemeriksaan (LHP) BPK yakni dengan mengevaluasi kembali Perbup a quo. "Mekanisme appraisal harus diuji kembali berdasarkan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan Peraturan Menteri Keuangan terkait dan kelayakan nilai ekonomi dari yang diajukan, karena untuk masing-masing daerah satuan harga komoditi dan jasa tentulah tidak sama," tandas Wahju. (dhan/fit)