OTT dan Penetapan Tersangka Kabasarnas: Tidak Perlu Diulang, Cukup Upaya Praperadilan

- Minggu, 30 Juli 2023 | 11:08 WIB
Profesor Pierre Suteki.
Profesor Pierre Suteki.

Sudah mafhum diketahui bahwa tindak pidana korupsi "dikelompokkan" sebagai tindak pidana yang bersifat extraordinary crime. Oleh karena sifatnya extraordinary crime maka penanganannya pun juga bisa bersifat extraordinary, tidak biasa, luar biasa dan sangat mungkin dalam keadaan tertentu "menyalahi" prosedur. Intinya tindakan aparat penegak hukum bisa bersifat progresif dan tidak terkungkung oleh bunyi aturan UU. Semua dilakukan dalam rangka untuk menunjukkan bahwa kita khususnya aparat penegak hukum, lebih khusus lagi KPK memiliki "sense of crisis" terhadap tindak pidana korupsi.

Dalam peradilan kita memang dikenal peradilan koneksitas. Bukan hanya menyangkut wilayah, melainkan juga termasuk kewenangan dalam proses peradilan pidana, mulai dari penyelidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan. Namun, koneksitas tersebut tidak boleh menghilangkan aspek materiil suatu tindak pidana. Operasi Tangkap Tangan (OTT) hanya merupakan tindakan hukum yang bersifat formal dalam menindak suatu dugaan adanya tindak pidana. Jika ada dugaan kekeliruan dalam prosedur hingga penetapan tersangka, maka APH tidak perlu meminta maaf, karena ada prosedur hukum yang bisa ditempuh, yakni melalui pra peradilan. Jadi, dalam hal penetapan tersangka oleh KPK atas Kabasarnas yang notabenenya seorang anggota TNI, KPK tidak perlu merasa bersalah oleh karena pelaku tindak pidana tertangkap tangan ketika sedang melakukan tindak pidana korupsi. Jika ada pihak yang merasa keberatan atas penetapan tersangka atas dasar OTT, dapat melakukan pra peradilan.

Ada pertanyaan yang perlu diajukan, apakah seorang TNI--dalam jabatan sipil--yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tak semestinya dikenakan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK karena dianggap memiliki hukum militer tersendiri?
Berkaitan dengan pertanyaan ini, perlu dibahas dulu tentang apakah ada kedudukan-kedudukan khusus bagi warga negara di depan hukum. Pada prinsipnya kita kenal equality before the law. Ini prinsip negara hukum dan demokrasi. Semua warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tiada kecualinya (Pasal 27 UUD 1945). Jadi, tidak ada warga istimewa, tidak ada putra mahkota, tidak ada penguasa di atas hukum yang berlaku.

Namun harus dipahami meski kedudukannya sama, hukum yang mengaturnya beda memang ada mekanisme sendiri. Misalnya, sama-sama melakukan PENCURIAN atau perbuatan TERCELA LAINNYA tentu beda antara penanganan terhadap PRESIDEN dengan WN biasa. Kalau WN langsung bisa diciduk, tapi Presiden tidak bisa, karena terkait dengan proses Politik dan Hukum (mulai dari DPR, MK dan MPR). Tapi prinsipnya TIDAK ADA YANG PUNYA KEKEBALAN HUKUM.

Mengenai OTT dan KPK merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan dalam praktik pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. OTT KPK adalah singkatan dari Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi. KUHAP kita tidak mengenal OTT, yang ada adalah TERTANGKAP TANGAN. Ada 5 unsur yang terkait dengan tindakan APH dalam menangani seseorang yang tertangkap tangan sebagaimana Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah sebagai berikut:

(1) Tertangkapnya seseorang artinya: ada orang yang tertangkap.

(2) Pada waktu sedang melakukan tindak pidana artinya: orang itu tertangkap saat sedang melakukan tindak pidana; atau

(3) Segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan artinya: si pelaku tertangkap beberapa saat kemudian setelah melakukan tindak pidana itu; atau

(4) Sesaat kemudian diserukanya/diteriakan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana artinya: si pelaku ketika sedang melakukan perbuatan tindak pidana terlihat oleh khalayak ramai, lalu diserukan sebagai pelakunya dan ketika ia melarikan diri ditangkap oleh orang ramai tersebut; atau

(5) Sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana dan/atau barang bukti hasil kejahatannya.

Dalam operasi tangkap tangan (OTT), KPK juga menggunakan teknik-teknik pengumpulan barang bukti untuk dapat menandingi kecanggihan aktivitas korupsi yang dilakukan oleh koruptor. Adapun teknik yang mengemuka adalah PENYADAPAN dan PENJEBAKAN. PENYADAPAN yang dilakukan oleh KPK didasari pada UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 19 Tahun 2019 pada Pasal 12 ayat (1) yaitu dalam melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang melakukan penyadapan.

Penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel, komunikasi, jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi maupun alat elektronik lainnya.

Teknik selanjutnya adalah PENJEBAKAN, yang dimaksud dengan penjebakan adalah kegiatan yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menemukan proses pidana untuk menangani tindak pidana korupsi. Penggunaan teknik ini ditentang oleh beberapa kalangan untuk dipakai dalam mengungkap tindak pidana korupsi dengan beberapa alasan antara lain karena tidak ada hukum yang mengatur penjebakan terkait korupsi di Indonesia. Dalam UU KPK, tidak ada satu pasal pun yang memberikan legitimasi bagi penyidik untuk melakukan penjebakan dalam mengungkapkan terjadinya tindak pidana korupsi.

Namun, terdapat banyak pro dan kontra terkait tindakan OTT oleh KPK. Pihak yang pro menyatakan bahwa OTT merupakan cara yang tepat untuk menangkap para koruptor karena tidak memerlukan alur birokrasi yang panjang dan menghasilkan barang bukti yang konkret. Di sisi lain pihak yang kontra menganggap pelaksanaan OTT menyalahi aturan dalam KUHAP. Disebut menyalahi karena terminologi dalam KUHAP adalah “tertangkap tangan” dan bukan “operasi tangkap tangan” seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK.

Halaman:

Editor: Fitroh Kurniadi

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Menyoal Caleg dari ASN

Kamis, 31 Agustus 2023 | 14:12 WIB

Gambar Cerdas

Kamis, 31 Agustus 2023 | 10:17 WIB
X